Oleh: Bahrul Ulum
SUATU ketika Al-Qosim bin Muhammad, cucu Abu Bakar As-Sidiq ditanya mengenai hukum makmum yang tidak membaca fatihah dalam shalat. Al Qasim menjawab bahwa ada sebagian sahabat Nabi yang membaca dan sebagian lain tidak membacanya.
Jawaban salah satu tujuh fuqaha Madinah ini sebagai bukti bahwa ia tidak menyembunyikan fakta adanya dua pendapat di kalangan sahabat mengenai hukum membaca fatihah bagi makmum. Padahal dia sendiri berpendapat tidak perlu membaca surat tersebut karena sudah diwakili imam.
Sikap Al Qasim ini menunjukkan bahwa berbuat adil merupakan salah satu sifat para ulama salafus shaleh. Mereka tidak segan menunjukkan sebuah fakta meski tidak sesuai dengan mazhabnya.
Bahkan jikaada yang melaksanakan amalan yang berbeda dengan dirinya, tidak lantasmenganggap amalan tersebut salah.Adalah Al-Imam Ahmad berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka ketika ada yang bertanya kepadanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Imam Ahmad menjawab: “Bagaimana mungkin saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id berpendapat keluar darah dari hidung tidak membatalkan wudhu.
Para ulama sadar bahwa persoalan khilafiyah tidak harus membuat orang kehilangan sikap keadilannya.Perbedaan masalah khilafiyah sudah terjadi sejak jaman sahabat, bahkan perbedaan tersebut lebih banyak dibanding sekarang. (Kitab Ilmu, Syaikh Ustaimin, hal.15).
Hal yang sama juga pernah dijelaskan oleh Imam al-Syatibi, ”Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi pada zaman sahabat hingga saat ini berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyyah. Pertama kali berlangsung sejak zaman Khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat-sahabat yang lain, lalu terus sampai zaman para tabi’in. Namun mereka tidak saling mencela di antara satu sama lain. (al-I’tisom 2/191)
Adapun jika perbedaan tersebut menyangkut masalah ushul, para ulama tegas dalam rangka menegakkan hujjah.
Tidak Adil, Ciri Ahli Bid’ah
Memang, berbuat adil bukan perkara yang mudah bagi sebagian orang. Fanatik buta terhadap mazhab tertentu misalkan telah membuatnya tidak adil. Bahkan ketidakadilan tersebut sesungguhnya menjatuhkan mazhab yang dianutnya.
Imam Suyuti menjelaskan bahwa sebuah keanehan jika ada orang yang mengagung-agungkan sebagian mazhab melebihi yang lain. Pengagungan ini yang menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat mazhab yang dikalahkan, bahkan kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam. Lahirlah kemudian fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama bersih dari perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furu benar-benar telah terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik. Namun, tak satu pun di antara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain, juga menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya. (Jazil al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Madzahib, hlm. 21-23).
Pernyataan Imam Suyuti ini sebagai peringatan kepada para ulama dan penuntut ilmu untuk berbuat adil dalam menyampaikan ilmu kepada umat.
Rasulullah bersabda, ”Ilmu ini akan dipikul orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka menolak tahrif orang yang melewati batas, menolak kedustaan dari ahli kebatilan dan ta’wil orang bodoh.” (Riwayat Ahmad, Baihaqi dll).
Para ulama menjelaskan, jika ilmu itu dipegang oleh orang yang adil, akan banyak membawa manfaat dan jauh dari mudharat.
Salafus shaleh sepakat agar dalam menyampaikan sebuah ilmu dilakukan apa adanya. Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi, guru Imam Ahmad, dengan tegas mengatakan bahwa mazhab salafus shaleh akan menulis apa saja, baik menguntungkam maupun merugikan pendapatnya. Tetapi ahli bid’ah hanya akan menulis apa yang menguntungkan baginya saja.
Berbuat adil merupakan perintah Allah bagi setiap Muslim. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman;
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرً۬ا (٥٨)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”( QS: an-Nisa [4]:58).
Para ulama menjelaskan, Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Bahkan,ia menjadi salah satu pilar penting bagi terwujudnya bangunan Islam. Seluruh ajaran Islam yang meliputi aqidah, syariat, muamalah dan adab diwarnai keadilan. Inilah yang kemudian menjadikan Islam mampu menyinari hati manusia.
Kelebihan Rasulullah di mata kawan dan lawan terletak pada masalah ini. Beliau dikenal sebagai orang yang sangat memegang teguh keadilan.Meski telah dipilih sebagai nabi terakhir, namun beliau tidak pernah menyembunyikan syariat para nabi sebelumnya. Jika syariat tersebut masih murni, beliau akan mengajarkan kepada ummatnya. Terbukti,banyak syariat Islam yang berasal dari nabi-nabi sebelumnya seperti haji, khitan dan beberap puasa sunnah. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak pernah bersikap tidak adil terhadap ajaran nabi-nabi sebelumnya.
Hal inilah yang kemudian dicontoh oleh para sahabat dan generasi berikutnya dalam menyampaikan ilmu. Meski tidak sependapat dengan pendapat tertentu namun mereka tidak menyembunyikannya.
Tidak berbuat adil dalam menyampaikan ilmu apa adanya, termasuk perbuatan menyembunyikan ilmu yang diharamkan oleh Allah. Orang yang sengaja melakukannya akan diancam masuk neraka. Dalam hal ini Rasulullah bersabda,”Barangsiapa ditanya mengenai suatu ilmu dan ia menyembunyikannya, maka ia akan dicambuk dengan cambuk dari api neraka pada hari kiamat. [Riwayat Abu Daud).
Pemimpin Adil, Srigala pun Tak Ganggu Ternak
Adalah Abu Hurarirah ketika ditanya kenapa banyak meriwayatkan Hadits, jawabannya khawatir dikatakan menyembunyikan ilmu. Beliau mendasarkannya pada firman firman Allah :
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّـٰهُ لِلنَّاسِ فِى ٱلۡكِتَـٰبِۙ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ يَلۡعَنُہُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُہُمُ ٱللَّـٰعِنُونَ (١٥٩) إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَتُوبُ عَلَيۡہِمۡۚ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ (١٦٠)
‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’ (QS: Al-Baqarah [2]: 159-160).” [Riwayat Bukhari)
Dalam prakteknya, Abu Hurairahtelah menyampaikan secara adil semua yang didengar dari Rasulullah. Tuduhan kaum Syiah yang mengatakan Abu Hurairah hanya menyampaikan sebagian Hadits yang dinilai menguntungkan Muawiyah tidaklah benar. Meski dia pernah diangkat menjadi gubernur di jaman Bani Ummayah, namun Hadits-hadits keutamaan Ahlul Bait tidak satupun dia sembunyikan.
Semoga kita bisa mencontoh para salafus shaleh.*
Penulis Sekretaris MIUMI Jawa Timur
(Admin Hidcom,Hidayatullah.com - Berita Dunia Islam, Mengabarkan Kebenaran)
Sumber hidayatullah.com
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
kirim Berita tentang Pendidikan/tulisan/artikel/cerita Motivasi/ Pengalaman spiritual ilahiah yang mengispirasi serta kritik, saran sumbangan dan donasi anda ke pelajarhariini
via BBM : D184F206
Website : Pelajarhariini.com
email : forpelajarhariini@gmail.com
upgrade aplikasi android pelajarhariini.apk
https://www.dropbox.com/s/7fcm7j2hw7xf2ig/com.pelajarhariini.apk?dl=0
Posting Komentar